Rabu, 14 Oktober 2015

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Pagi temen-temen! aku mau nyeritain kembali novel karangan Hamka, yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Selamat baca......^_^


Di tepi pantai, seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang diri menghadapkan mukanya ke laut di rumah berbentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Ia teringat pesan ayahnya tatkala beliau akan menutup mata. Ayahnya berpesan bahwa negerinya yang asli bukanlah Mengkasar, tetapi jauh di seberang lautan, yang lebih indah lagi dari negerinya sekarang.

Dia dinamai ayahnya, Zainuddin. Sejak kecilnya telah dirundung kemalangan.

Ayahnya Pendekar Sutan dari Batipuh Sapuluh Koto (Padang Panjang). Atas kesalahannya, beliau dibuang 15 tahun. Ketika itu pembuangan Cilacap paling mahsyu bagi orang hukuman Sumatra, laksana pembuangan SAwah Lunto bagi orang hukuman Tanah Jawa dan Bugis. Sebab beliau bergelar “jago” seorang kejam dan gagah berani yang tiada mengenal kasihan. Itulah sebabnya dia menginjak Mengkasar. Di sanalah beliau menikah dengan ibunya Zainuddin, Daeng Habibah.

“Terangkanlah, Mak, terangkanlah kembali riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya” ujar Zainuddin kepada Mak Base, ibu angkatnya. “ketika itu engkau masih amat kecil, saya berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih kecil, umurmu baru Sembilan bulan. Lalu dengan suara yang hampir hilang ia berkata ‘Mana Udin, Mak Base?’ ‘ini dia’ jawabku. Tak engkau ketahui bahwa ibumu akan berangkat meninggalkan engkau buat selamanya. Lalu engkau dipeluknya, digamit pula ayahmu. Dia berbisik ke telinga ayahmu:’Jaga Zainuddin’. Tak lama kemudian, ibumu hilanglah.

Beberapa bulan sepeninggal ibumu, rupanya kodrat ilahi tidak mengizinkan ayahmu menunggumu sampai besar. Pada suatu malam, petang Kamis malam Jumat, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, meminta tobat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu engkau menangis dan bersedih, engkau menatap memanggil-manggil dia. Tapi aku telah diwasiatkan sebelum ayahmu pergi, beliau memintaku menjaga kunci sampai ia mati. Setelah dia wafat barulah peti itu mamak buka, disana ada sehelai surat yang berisi dengan tulisan Arab : ‘Pengasuh Zainuddin sampai dia besar’ dan segulung uang kertas Rp 1.000,00” Jawab Mak Base.

“Lepaslah saya berangkat ke Padang Mak Base. Saya hendak melihat tanah asalku, tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Banyak orang berkata bahwa banyak sekolah-sekolah agama di sana. Lepaslah saya mak Base”

Mak Base termenung sejenak, namun akhirnya ia diizinkannya pula. “Terimalah uang ini semuanya, inilah hakmu, usaha dari ayahmu” “Ai, yang akan saya hanyalah sekedar ongkos kapal ke Padang. Perniagakanlah seperti biasa, kirimi saya Rp 20,00 setiap bulannya, sisanya untuk mamak.

Berangkatlah Zainuddin ke Padang. Negeri Padang Panjang dusun Batipuh tujuannya. Bertinggal di rumah mande jamilah.

***

Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh di rumah Mande Jamilah, ia teringat perkataan Mak Base bahwa adat Minangkabau itu lain, berbeda. Bangsa diambil dari ibu. Meskipun Zainuddin berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah. Sedangkan di sini lain, malang nasib Zainuddin, sebab dalam negeri ibunya dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing juga. Tak dapat Zainuddin berkata bahwa ia orang Padang, orang Minangkabau, sebab dia tak bersuku.

Tak berapa jauh dari rumah bakonya itu, ada sebuah rumah adat yang indah dan kokoh.

Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian Gunung Merapi,yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu.

Mula-mula Hayati berkenalan dengan Zainuddin, adalah ketika hari sedang hujan lebat, sepulang dari sekolah agama. Zainuddin membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya kebetulan tidak membawa payung. Sehingga dari pukul 2 sudah hampir pukul 4 mereka berdiri.

Hari mulai sore, timbullah keberanian Zainuddin berbicara kepada Hayati : “Encik…! Sukakah Encik saya tolong?” “Apakah gerangan pertolongan Tuan itu?” “Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga.”

“Terimakasih!” jawab Hayati. “Janganlah ditolak pertolongan itu” kata orang lepau tiba-tiba.

“Ke mana payung ini kelak kami antarkan?”

“Besok saja antarkan pun taka pa, ke rumah Mande Jamilah!”

Kedua gadis itu pun berangkatlah dalam hujan. Hujan pun teduh, dia pun pulang ke Batipuh dengan langkah yang cepat.

Pagi-pagi, sebelum anak-anak sekolah berangkat ke sekolahnya ada anak kecil menghampirinya ke muka surau tempat Zainuddin tidur, anak kecil laki-laki itu membawa payung  dan anak itu pun berkata: “Kak Ati berkirim salam dan menyuruh mengembalikan payung ini, surat ini pula..” dibukanya surat itu….

            Tuan Zainuddin!

            Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kemarin. Alangkah besar terima kasih saya atas pertolongan itu, tak dapat di sini saya nyatakan. Pertama, waktu hari hujan saya tak bersedia payung, Tuan telah sudi berbasah-basah untuk memeliharakan seorang anak perempuan yang belum Tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya lebih lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut dengan Tuan, yang selama ini terkenal baik budi. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, tapi mendatangkan rahmat. Moga-moga pada suatu waktu kelak, dapatlah saya membalas budi Tuan.

Hayati

Sejak Zainuddin berkenalan dengan Hayati, dia tidak merasa sunyi lagi di Tanah Minangkabau yang memandangnya orang asing itu. Hayati sendiri pun semenjak waktu itu kerap kali bagai orang yang keraguan. Ada seorang sahabat Hayati, bernama Khadijah, tinggal di Padang Panjang. Pada suatu hari dikirimnya sepucuk surat tentang bagaimana perasaan hatinya. Dalam surat itu Nampak isi perasaan Hayati, perasaan yang belum pernah diterangkannya kepada orang lain.

***

Pada suatu hari, di waktu matahari hendak terbenam, Hayati bertemu dengan Zainuddin di liku jalan.

“Ai .. Zainuddin di sini.” “Ya, disini, menunggumu!” “Menunggu saya?” “Apakah maksudnya, lekaslah, supaya saya segera pulang.”

“Engkau saya tunggu hanya sekedar hendak memberikan surat ini.”

Zainuddin berangkat dari tempat itu secepat-cepatnya. Hayati pula segera pulang,segera di malam hari ia membaca surat dari Zainuddin di dekat sebuah lampu dinding.

Sahabatku Hayati

Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksa untuk menulis, banyak yang terasa, hilang akalku, tak tentu dari mana harus ku mulai.

Sudah hampir satu tahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. Oh Hayati, di Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang. Disini pula saya dianggap orang Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam kesepian. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh uang. Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula. Bakoku tak mengakui bahwa saya anak pisangnya. Mengapa hal ini saya adukan kepadamu, Hayati?

Itu pun saya tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu. Maafkan saya karena meluahkan kepedihan hati saya, Hayati. Saya tahu juga sedikit-sedikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum. Saya tahu dan insaf siapa saya. Saya kirimkan surat ini tidaklah minta dibalas, hanyalah semata-mata mengadukan hal. Saya juga yakin, tangan yang amat halus, mata yang penuh dengan kejujuran itu tidak akan mengecewakan hati.

Sudikah engkau jadi sahabatku, Hayati? Saya sadar, saya melarat, anak orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau temui hati yang insya-Allah sebersih hati saya, lantaran senantiasa  dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya.

Zainuddin

Gemetar tangan Hayati, bercucur pula air matanya. Terbayanglah di hadapannya wajah Zainuddin yang muram, keluh senantiasa mengandung rahasia dalam.

Adapun yang berkirim surat, Zainuddin. Besok paginya, dia merasa takut dan malu akan bertemu Hayati pada suatu jalan, seakan-akan menyesal dia rasanya mengirim surat itu. Apalagi setelah sehari, dua hari suratnya telah dikirimkan, tidak mendapat balasan apa-apa. Empat hari di belakang itu, seketika Zainuddin datang dari sebuah lepau di tepi jalan, tiba-tiba ia tertegun, sebab ia bertemu dengan Hayati.

“Hayati?”

“Mengapa sudah empat hari Tuan tak kelihatan?”

“Saya malu Hayati, saya takut.”

“Jangan Tuan takut lantaran surat itu, surat yang indah dan menarik, yang membuka pintu hati orang. Tapi sayang, saya tak berbakat seperti Tuan untuk membalas surat yang indah-indah itu.”

“Bukankah sudah saya terangkan bahwa saya tak meminta balasan? Yang saya minta hanya satu, jangan kecewakan hati orang yang berlindung kepadamu!”

Demikianlah, mata bertemu dengan mata, hati berkata dengan hati.

Sejak dapat diketahui Zainuddin bahwa suratnya diterima baik oleh Hayati, sampai di surau tempat dia tidur, ditulisnyalah sepucuk surat kepada Hayati. Bilamana ditulisnya :

 Hayati!

Pada perkataan-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku, cintaku telah kau terima. Bahwa pengharapanku yang telah putus, kau hubungkan kembali. Aku sendiri, sebagai yang kau lihat, begitulah keadaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin. Bagiku, Hayati, engkau sangant cantik. Kecantikanmu itu kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengingat buruk diriku dan buruk untungku.

Tetapi pula, kalau kau hendak mendasarkan cinta itu pada dasar keikhlasan, pada keteguhan memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan bukan kebaikan rupa.

Kalau semuanya itu telah kau ingat benar, dan engkau sudi berenang ka dalam lautan cinta, ketahuilah bahwa saya beruntung berkenalan dengan engkau, moga-moga begitu pula engkau terhadapku.

Zainuddin

Surat yang ketiga :

Sahabatku Hayati!

Sebagai kukatakan dahulu, lebih bebas saya menulis surat daripada berkata-kata dengan engkau. Saya lebih pandai meratap, menyesal, dan mengupat dalam surat. Karena bilamana saya bertemu denganmu maka senantiasa matamu menghilangkan susun kataku.

Inilah suratku yang ketiga. Dan alangkah beruntungnya perasaan hatiku jika beroleh balasan, padahal sepucuk pum belum pernah engkau balas. Bacalah, dan bacalah suratku ketiga-tiganya. Kirimlah surat kepadaku tanda jujurmu.

Suratmu, Hayati; sekali lagi suratmu.

Zainuddin

Tiba-tiba datang adik Hayati, Ahmad yang masih kecil membawa surat, berdebar sangat jantung Zainuddin demi membuka surat itu:

Tuan Zainuddin!

Ketiga surat tuan telah say abaca dengan mafhum,keterangan yang lebih panjang tak dapat saya berikan dengan surat. Sebab itu, kalau tuan tak keberatan, saya hendak bertemu sendiri dengan Tuan, nanti sore di dangau di sawah tempat kita bertemu mula-mula rempo hari. Saya akan datang dengan adikku.

Hayati

Ditunggunya hari sampai sore, sampailah ia dapat bertemu dengan Hayati. Zainuddinlah yang telah sampai dahulu daripadanya. Tak lama hayati datang pula diiringi oleh adiknya, kemudian entah mengapa Hayati menangis.

“Lebih baik kita tinggal bersahabat saja. Habisi sajalah hingga ini.”

“oh, jadi, kau telah menagmbil keputusan yang tetap?”

“ya”

“Baiklah, Hayati! Besar salahku memaksa hati yang tak mau. Saya takkan mengganggumu lagi”

Maka turunlah Zainuddin dari tempat duduknya, lalu pergi. Setelah agak jauh Zainuddin berjalan, dipanggilnya Ahmad oleh Hayati bermaksud menyuruhnya untuk memanggilkan Zainuddin kembali.

Berlari-larilah Ahmad mengejar Zainuddin. Dibimbingnya kembali ke dangau itu.

“Apa Hayati?”

“Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan saya bersedia menempuh segala bahaya yang akan menimpa dan sengsara yang mengancam.”

“Hayati… kau telah kembalikan jiwaku!”

***

Persahabatan yang rapat dan jujur di antara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah. Orang belum kenal percintaan suci. Yang terdengar sekarang, ialah bahwa Hayati, kemenakan Datuk telah ber-intaian, bermain mata, berkirim-kirim surat dengan anak orang Mengkasar itu. Telinga Datuk tak sanggup lagi mendengarkan. Sehingga pada suatu mala dicarinya Zainuddin, dibawanya bercakap bermuka-muka.

“Zainuddin! Telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Diri saya percaya bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tak senonoh terhadap kemenakanku. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasehat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkab nama kami dalam negeri, yang belum lekang di panas dan beklum lapuk di hujan, supaya engkau surut.”

“Mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?”

“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai” perkataan ini terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam.

“berilah saya keputusan, berangkatlah!” ujarnya kembali

“ba…iklah Engku”

***

Hayati duduk di ruang tengah, tiba-tiba Datuk .. masuk dan berdiri di dekat Hayati sambil berkata : “Sudahkah engkau tahu Hayati?”

“Apa Engku?”

“Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu, lebih baik ia pergi ke padang panjang.“

“Apa sebab Engku suruh dia pergi?”

“Banyak fitnah-fitnah orang terhadap dirinya dan dirimu sendiri”

“Tapi hubungan kami suci, tak melanggar sopan santun. Dia hendakmenuruti jalan yang lurus, mengambil saya jadi istrinya”

“Tak boleh Ati! Di zaman sekarang, haruslah suami yang tentu mata pencaharian, tentu asal-usul. Jika dengannya, dan engkau beroleh anak, kamanakah anak itu akan berbako?”

“Sekarang kau boleh menangis, dan nanti kau akan insaf sendiri”

***

Sesampainya Zainuddin pulang ke rumah  bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya, lalu berkata “Lebik baik engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Namamu menjadi sebutan banya orang. Tadi sore Mande bertemu beberapa anak muda yang hendak bermaksud jahat  padamu!”

Ia diusir, perbuatannya dicela, namanya di busukkan. Seorang anak muda yang berkenalan dengan nak perempuan, dengan maksud baik dan hendak kawin, dipandang hina.

Tiba-tiba, setelah setengah jam dia meninggalkan kampung tanah nenek moyangnya, di tepi jalan menuju Padang Panjang, kelihatan olehnya seorang permpuan dengan seorang anak laki-laki. Orang itu ialah Hayati dengan adiknya yang berdiri menunggunya.

“Rupanya kau menungguku disini Hayati”

“Memang Zainuddin, saya kemari melepasmu pergi.berangkatlah, cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan. Berangkatlah! Biarlah Tuhan memberi perlindungan bagi kita berdua.”

“Hayati, saya putus asa, atau timbul pengharapan dalam hidupku yang belum tentu tujuannya, semua benrgantung bukan pada diriku, bukan pada orang lain, melainkan dirimu. Engkaulah yang sanggup menjadikanku seorang yang gagah berani, tetapi engkau pula yang menjadikan saya seorang sengsara selamanya.”

“Zainuddin, hati saya dipenuhi cinta pada kau. Biarkan Tuhan mendengarkan, bahwa kau yang akan menjadi suamiku kelak, bila tiidak didunia ini, biarlah menjadi suamiku di akhirat kelak. Saya takkan menghianati janji, tidakkan berdusta dihadapan Tuhan, dan dihadapan roh nenek moyangku.”

“Berat sekali sumpahmu Hayati!”

“Tidak berat, itulah kenyataannya. Dan jika kau berjalan jauh atau dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa setahun, dua tahun, masa sepuluh tahun,namun saya akan tetap menunggu. Carilah keberuntungan dan kebahagiaan kita. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap bersih dan suci untukmu, kekasihku, untukmu…”

“Baiklah Hayati, saya akan pergi dengan harapan yang penuh, harapan yang tadinya hampir hilang. Cuma ada permintaanku padamu, kirimilah saya surat, dan kalau tak berhalangan, surat-surat itu akan saya balasi pula”

“Akan saya kirimi sedapat mungkin, akan saya terangkan segala perasaan hatiku, sebagaimana pepatahmu selama ini, dengan surat kita lebih bebas menerangkan perasaan”

“Mana tahu, entah lama pula kita kan bertemu. Berilah saya satu tanda mata, azimatku, dalam hidupku, dan akan kuwasiatkan meletakkan dalam kafanku jika ku mati.”

Termenung Hayati, lalu memberikannya selendang yang melilit kepalanya. “Ini, terimalah selamat jalan!”

***

Dipilihnya tempat tinggal, di rumah En.Labay. beberapa hari kemudian, hari jumat, datanglah sepucuk surat buat Zainuddin. Yang berisikan bahwa ia akan segera bersua, ia telah diberi izin untuk pergi ke Padang Panjang, 10 hari untuk datang menyaksikan berpacuan kuda. Ia tinggal di rumah sahabatnya, Khadijah.

Kedua sahabat ini Hayati dan Khadijah, berbeda sekali pergaulannya. Besoknya pagi-pagi, mereka di rumah Khadijah telah bangun. Khadijah asyik berhias diri, dan menyarankan pakaian nona-nona kepada Hayati. Awalnya mereka sempat bertengkar-tengkar, akhirnya Hayati bersedia memakai pakaian itu. Lalu mereka pergilah.

Dari jauh, kelihatanlah olehnya seorang anak muda, bersarung, ya, Zainuddin. Di muka pintu itu benar bertemulah kedua orang muda itu. “Kau Hayati?” “Zai .. nuddin ..!”

“Mengapa terhenti Hayati?” Tanya Khadijah sambil melihat Zainuddin dengan penglihatan yang menghina.

“Inilah sahabatku, Zainuddin!”

“Ooooo, ini orang yang kerap kali kau sebut-sebut itu rupanya.” Ditariknya tangan Hayati ke dalam, masuk ke tribune.

Selepas itu pulanglah Hayati, sebab ia sedikit pusing. Lalu esoknya ia menerima surat dari Zainuddin yang lebih dan kurangnya berisi:

Adikku Hayati!

Hayati! …. Apa yang saya lihat kemarin? Mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu? Mana baju kurungmu Bukankah Adinda orang dusun! Kakanda percaya, bahwa yang demikian itu bukan kehendak Hayati yang sejati.

Jangan marah Hayati. Kau hanya buat saya seorang. Biarlah orang lain mengatakan kau orang dusun, tak kenal kemajuan zaman kini.

Zainuddin

***

Aziz bekerja di Padang, bergaul dengan teman sejawat yang tidak berketentuan perangai. Bagi Aziz, hidup adalah komidi belaka. Adiknya Khadijah telah bertunangan dengan seorang muda yang kaya.

Dalam pergaulan beberapa hari di Padang Panjang, dalam melihat pacu kuda, pasar keramaian dan pergaulan di atas rumah yang bebas, tentu saja Aziz amat tertarik melihat kecantikan Hayati. Aziz amat pandai berpura-pura. Menurutnya segala perempuan itu sama saja, permainan laki-laki.

Khadijah terus menerus menjelek-jelekkan Zainuddin kepada Khadijah. Alangkah baiknya ---Kata Khadijah --- kalau hari perkawinan mereka dapat disamakan!.

“Alangkah baiknya jika kita berkarib dengan dia” ujar Khadijah kepada Ibu dan Udanya.

“Bukan main megahnya itu” ujar ibunya

“Bagaimana Uda?” Kata Khadijah pula.

***

Hayati telah berpulang, tak lama dari kepulangannya, datanglah surat dari sahabatnya itu, Khadijah yang menerangkan bahwa hidup di zaman sekarang berkehendang uang, Zainuddin tiadakan sanggup menyelenggarakan hidupnya. “Ya Rabbi, berilah petunjuk bagi hamba-Mu ini” kata hayati selepas membaca surat itu.

Pada waktu yang telah ditentukan, setelah segenap mufakat Aziz dengan keluarganya, disuruhlah orang suruhan untuk menyampaikan permintaan kepada kaun kerabat Hayati.

Sedang Zainuddin mendapat kabar tak baik, diterimanya pos surat menjelang magrib yang isinya menerangkan bahwa Mak Base, ibu angkatnya telah berpulang ke rahmatullah dan menerima uang sebesar 3200 rupiah dari peninggalan beliau. Sebatang kara lah ia di dunia.

Dengan tiga ribu rupiah dia hendak hidup, dalam angan-angan dia hendak mencoba meminta Hayati kepada keluarganya dengan memintanya melalui surat. Surat diterima orang Batipuh, adalah dua hari setelah utusan Aziz kembali ke Padang Panjang.

Sementara para tetua adat sedang berkumpul akan peminangan terhadap kemenakannya Hayati. Pemufakatan putus. Tinggal lagi memanggil Hayati, menerangkan kebulatannya mufakat kepadanya.

“Lekaslah jawab Hayati!” ujar Datuk

“Jawablah Hayati!” sekali lagi

“Bagaimana .. yang akan baik kata ninik mamak saja .. saya menurut”

“Alhamdulillah,” ujar yang hadir.

***

Berdebar-debar jantung Zainuddin seketika menerima surat balasan dari orang Batipuh. Setelah dibukanya,

Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang

Surat orang muda telah kami terima dan mafhum isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata mufakat, artinya kami belum sepakat, maka kami tolaklah permintaan orang muda, dengan mengatakan dengan terus terang bahwa permintaan ini tiada dapat kami kabulkan.

Datuk Garang dll.

Selepasnya ia baca, demikianlah hati telah remuk redam. Kemudian ditinggalkannyalah Padang Panjang hendak mengobati hati tetapi percuma.

“Sudah kembali Zainuddin? Mengapa mukamu lebih lesu?” kata perempuan tua tempat ia menumpang itu,

“Demam saya dalam perjalanan, Mak!”

“Mengapa engkau termenung saja anakku, kurang sihatkah?”

“Tidak Mak”

“Terangkanlah, apa sebab surat itu Zainuddin? Agaknya si Muluk anak mamak dapat membantu. Akan ku upanggilkan ia. Aa, itu si muluk! Kau tolonglah orang muda ini”

“Mana yang dapat saya tolong Guru?” kata Muluk.

Setelah semua diceritakannya, lalu dia berkata hendak meminta carikan selidiki Aziz yang menjadi pinangan Hayati, rupanya Muluk tahu tentang ia, Aziz adalah orang yang perangainya tak baik. Setelah Zainuddin tahu akan perangainya Aziz, menulislah ia sepucuk surat kepada Hayati, hendak memberi tahu bahwa Aziz buruklah perangainya, Aziz memperdaya Hayati dan kerabatnya dengan uang dan kecantikan. Sangat payah pula sakit Zainuddin, malang sekali nasibnya dan meminta belas kasihan dari padanya.

Balasan Hayati justru menerangkan bahwa kedua orang muda ini hanya akan menangis buat sementara waktu, mereka akan insaf bahwa dia pindah dari alam yang sempit ke alam yang lebih lebar. Dan menerangkan pula bahwa bila menikah dengannya akan hidup melarat pula, dan perkawinannya dengan Aziz bukanlah suatu paksaan, maka lebih baik berpisah dan melupakan kesalahan yang lalu.

Demi setelah surat itu diterima kepada Zainuddin, mengerti benarlah ia sekarang. Dan menerangkan kepada Hayati bahwa ia akan melupakan pula yang telah lalu dan mengirimkannya surat-surat yang dikirim Hayati kembali padanya.

Hari perkawinan telah ditentukan, petang Kamis malam Jumat. Lain dengan Zainuddin yang masih tertidur sampai pagi hari semenjak merenung akan nasibnya. Ia sakit 2 bulan lamanya, segala dukun telah Muluk dan mamaknya panggil, namun tak jua sembuh, ini penyakit batin. Saran dokter yang terakhir itulah menyarankan bahwa orang yang menjadi penyebab si sakit supaya datang menjenguknya.

Pagi-pagi pukul 9 datanglah Hayati, dengan penuh keberatan ia duduk di samping tempat tidur Zainuddin seraya memanggil-manggil namanya. “Zainuddin, ini saya datang!.”

“Hayatikah itu? Saya kenal benar suaranya,”

Dicarinya asal suara itu dengan menggunakan tangannya.

“Oh, ya Hayati! Kau datang tepat pada waktunya, kita akan melaksanakan perkawinan kita, sudah lama aku menunggu kedatanganmu, begitu cantik kau hari ini memakai baju kurung itu, sangat saya setujui. Kemarikanlah tangan kau Hayati!”

Diulurkanlah tangan Hayati, tiba-tiba badannya bergetar sambil berkata “O.. kau berinai jari, ya, ya, saya lupa, kau sudah kawin, kau sudah kepunyaan orang lain, haramlah saya menyentuh tanganmu!. Keluarlah semua, pergilah semuanya, mereka telah putus pula dengan saya, perglah segera!” Kemudian ditariknya tangan Hayati oleh suaminya, dan dibimbingnya ke luar.

***

Tak lama, sembuhlah Zainuddin dari sakitnya, bercengkramalah ia dengan Muluk, maksud meminta nasihat.

“Sudah saya pikirkan, saya terpaksa pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak pergi ke Tanah Jawa”

“Sudah tetapkah keputusan demikian?”

“Tetap!”

“Saya mesti ikut, bawalah saya meski menjadi jonggos, menjadi orang suruhan dalam pergaulan hidup, menjadi sahabat setia yang akan mempertahankan jika Guru ditimpa susah. Sebab saya tertarik akan Guru.”

“Saya pun perlu berdampingan dengan Abang, banyak kebaikan pula dari Abang yang perlu saya ambil.”

“Sampai mati jadi sahabat” kata Muluk

“Sampai mati jadi sahabat” kata Zainuddin pula,

Ditinggalkannya Pulau Sumatra, masuk ke tanah Jawa. Sesampainya ia di Batavia, disewanya rumah kecil bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah dicobanya  menyudahkan karangan-karangannya yang terbengkalai, terutama di bagian hikayat. Dikirimnya kepada surat-surat kabar. Rupanya karangan itu mendapat tempat yang baik. Hingga dalam masa yang belum setahun, karangannya telah banyak tersiar. Yang dikarangkan oleh leter “Z” yang amat menarik hati itu.

Jika dahulu ia sendiri mendatangi kantor surat kabar, sekarang redaksi surat kabar itulah yang datang meminta karangan kepadanya. Bahkan salah satu direktur dari satu surat kabar datang ke rumahnya menawarkan pekerjaan menjadi redaksi di surat kabar itu, tapi di Surabaya.

Dengan kemauan yang tetap, pergilah ia bersama Muluk ke Surabaya dan mendapat rumah pula disana. Tidak heran kalau sekiranya mendapat penerimaan yang baik dari pembacanya, sebab ceritanya amat menarik hati orang.

Karena kemulian budi dan kebaikannya, namanya telah harum dalam perkumpulan Anak Sumatra. Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Maka adalah cinta kepada Hayati dan pengharapan yang terputus yang menyebabkan jiwa dan semangat baru dalam perjuangan hidup anak muda itu.

***

Sore, sedang Hayati duduk bersama suaminya, datanglah seorang loper mengantarkan surat undangan suatu pertunjukan cerita tonil karangan Tuan Shabir (nama samara penulis “Z”) dengan judul “TEROESIR” yang beratas namakan klub Anak Sumatra.

Hayati membujuk-bujuk suaminya itu supaya dapat datang ke gedung pertunjukan rumah Tuan Shabir itu. Sehingga setelah pukul setengah 7  berangkatlah mereka.

Selama permainan berjalan, tak kurang-kurang pujian orang kepada pengarangnya. Sehabis pertunjukan selesai, meriahlah semua tamu yang menyaksikan. Lalu, bertemulah Aziz dan istrinya dengan pengarang Tuan Shabir itu, dan terkejut mereka bahwa orang itu adalah Zainuddin.

Nama Zainuddin telah mahsyur, dia telah ternama. Namun ia adalah orang yang malang. Diakuinya sekarang telah menjadi kaya, sudah ada padanya sumber mas. Salah orang yang menyangka bahwa Hayati telah ia lupakan.

Dengan sebaik-baiknya persahabatan, Aziz yang pandai sekali mengambil muka telah meminta maaf kepadanya karena kejadian-kejadian yang sudah-sudah itu. Persahabatan itu sudah karib. Namun Aziz masih saja berjudi, hingga hutangnya pun bertumpuk banyak. Sampai-sampai ia meminta pertolongan dengan meminjam uang kepada Zainuddin, tapi ia tetaplah berjudi sampai suatu ketika rumahnya disita oleh seorang sep kantornya dan seorang penagih hutang.

Dengan langkah tetap, penuh pengharapan, dia bersama istrinya pergi ke rumah Zainuddin. Kedatangan mereka diterima baik oleh sang pemilik rumah.

Sudah lewat sebulan…

Aziz hendak meminta izin kepada istri dan pemilik rumah untuk pergi mencari pekerjaan, dengan keadaan yang kurang sehat. Besok paginya pergilah ia.

***

Sekembali dari stasium mengantar Aziz, disuruhnya Muluk mencari seorang babu tua untuk teman Hayati. Hayati sendiri gelisah pula dalam rumah itu.

Pada malam di ruang makan, Hayati telah menunggunya, tapi tak kunjung ia datang. Bertanyalah ia kepada Muluk. Dan berbincanglah mereka tentang apa yang di alami Zainuddin selama ini, dan diterangkannya pula bahwa di kamar tulisnya itu ada suatu yang tak boleh Hayati tahu, itulah lukisan besar bertutupkan kain sutra hijau. Itulah gambar lukisan dirinya yang bertuliskan “Permataku yang hilang” yang sebetulnya Zainuddin masih tetap cinta akan dirinya. Debar jantung Hayati mendengarkan ucapan Muluk. Pada saat itu tahulah dia sudah bahwa Zainuddin masih cinta akan dia.

Paginya setelah beberapa hari kepergian Aziz…

Saudaraku Zainuddin

Dengan perasaan duka, Surabaya saya tinggalkan. Tetapi pekerjaan belum juga dapat. Saya tahu sudah, mungkin ini balasan Tuhan akan daku. Sekarang saya sudah menetapkan hukuman atas diri orang yang bersalah sekian besar. Maka, dengan surat ini saya berterus terang, bahwa Hayati saya kembalikan ke tangan Saudara, dia saya lepaskan, tidak dalam ikatan saya lagi.

Tak perlu saudara hiraukan bagaimana kesusahan dari hidup saya. Maafkan dosaku lahir batin.

Aziz

Adinda Hayati

Hampir dua tahuin kita bergaul.yang penuh dengan dosa dan tangan kotor. Saya kecewakan hatimu. Maka sebelum masanya lepas dan penyesalan timbul, saya menyingkir pergi.

Maka sesampai surat ini, lantaran kau kuambil dahulunya dengan nikah secara sah, sekarang kau kulepaskan pula sah menurut agama. Janganlah kau kembali ke Padang, tinggallah bersama Zainuddin, kalau dia masih suka menerima kau jadi istrinya.

Bekas suamimu:

Aziz

Di lembar yang kedua dari salah satu surat kabar harian terbaca suatu perkabaran demikian judulnya “Membunuh diri di hotel”

***

Zainuddin sedang termenung di dalam kamar tulisnya, kemudian masuklah Hayati ke dalam memberanikan dirinya.

“Duduklah!” kata Zainuddin

“Apa akal saya lagi, Engku Zainudiin?”

“Ya, apalah lagi kita”

“Saya akan berterus terang padamu, saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpadiriku, asal kau sudi memaafkan kesalahanku.”

“Maaf?, Setelah segenap daun kehidupanku kau regas, segenap pucuk pengharanku kau patahkan, kau minta maaf?”

Terkejut Hayati mendapat jawaban Zainuddin

“Mengapa kau telah menjawab dengan perkataan yang maha kejam?”

“Lupakah kau, siapa diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji seketika saya diusir oleh ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, kau akan menungguku? Tetapi kemudian kauberoleh ganti yang lebih gagah, kaya, berbangsa beradat? Kau kawin dengan dia kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain. Hampir saya mati lantaran menanggung cinta, dua bulan lamanya aku terbaring. Kau jenguk saya dan memperlihatkan jarimu telah berinai kepemilikan orang lain, siapakah di antara kita yang jahat Hayati?

Tidak Hayati, saya tidak kejam, saya hanya menuruti perkataanmu, bukankah kau memintaku tuk menghilangkan rasa cinta kita dan melupakannya, dan menggantinya dengan persahabatan? Permintaan itulah saya pegang teguh sekarang. Engkau bukan percintaanku, bukan istriku, melainkan janda dari sahabatku.

Itulah sebab dengan rida hati kau ijinkan tinggal dirumahku untuk menunggu kedatangan suamimu, tapi yang datang adalah surat perceraian yang sangat menyakitkan hati. Maka, sebagai seorang sahabat pula kau ku lepas pulang ke kampungmu. Ongkos pulangmu biar saya yang tanggung, dan Insya-Allah kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu, sampai kau beroleh suami”

“Itukah keputusanmu? Tidak! Saya tidak akan pulang, saya akan tinggal bersama engkau disini, biar saya kau hinakan, biar kau pandang babu, saya hanya perlu dekat dengan kau.”

“Tidak! Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!

Besok hari Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priok, akan terus ke Padang. Ini Rp 100 untuk bekal belanja”

Dia pun keluar dari kamar itu, meninggalkan Hayati duduk seorang diri.

Pagi-pagi hari Senin, 19 Oktober 1936, Kapal Van der Wijck telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak. Dan saat itu juga detemuinya Hayati dan berkata “Selamat pulang Hayati, maaf saya tak dapat mengantarmu ke Tanjung Perak, sebab ada pekerjaan yang belum terselesaikan di Malang. Bolehlah nanti pukul 3 sore kau diantarkan oleh Bang Muluk. Jangan lupa salamku untuk Datuk dan kepada keluarga di sana semua”

Setelah kira-kira pukul setengah tiga, bersiaplah mereka hendak berangkat. Dan sebelum ia pergi, dibawanya gambar Zainuddin dari kamar tulisnya sebagai tanda mata, untuk dibawanya pulang. Dengan menumpang taksi, mereka berangkatlah.

Sesampai di kapal, sebelum Muluk meninggalkan seorang perempuan muda tinggal seorang diri, ia meminta Bang Muluk untuk memberikan surat kepada Zainuddin. Pada pukul 9 malamkapal itu berlayarlah menuju Semarang.

***

Besoknya , 20 oktober, barulah Zainuddin kembali dari Malang. Dia masuk ke kamar tulisnya dan didapatinya Muluk.

“Bang! Terus terang bahwa saya menyesal melepas Hayati pergi. Bang Muluk!...cinta saya kepada Hayati belum usak, walau sebesar rambut sekalipun!”

“Saya tak mengerti akan Guru! Kadang peranggaimu macam anak-anak”

“Saya hilaf Bang, saya dahulukan dendam saya disbanding ketentraman cinta”

“Inilah surat yang disuruhnya berikan”

Dibacanya :

Pergantungan jiwaku,Zainuddin!

Sungguh besar harapanku hendak hidup di dekatmu, supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bias terlaksana. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah ku perbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi, cita-citaku itu tinggal selamanya dalam mimpi, sebab engkau sendiri yang menutupkan pintu dihadapanku, saya kau larang masuk, sebab engkau hendak meluahkan segala dendam kekecewaan yang sekian lama bersarang dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau mengambil keputusan yang mahakejam, engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin, bahwa hukuman ini bukan hanya mengenai diriku seorang, tetapi kepada kita berdua. Karena saya percaya, bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.

Zainuddin, kalau saya taka da, hidupmu juga tak akan juga beruntung, percayalah dalam jiwaku ada suatu kekayaan besar yang sangat engkau perlu kepadanya, dan kekayaan itu belum pernah kuberikan kepada orang lain, walaupun kepada Aziz, ialah kekayaan cinta. Seandainya kau terima kembali kedatanganku saya tidak akan pernah meminta balasanmu. Balasan dari pengharapan cinta suciku hanyalah dari Allah, supaya engkau diberiNya bahagia. Balasan keduaku hanyalah supaya saya dapat hidup didekatmu selamanya. 

Zainuddin, engkau akan beroleh seorang perempuan yang masih suci batinnya, suci jiwanya, belum pernah disentuh orang lain, hatinya belum pernah dirampas orang, yang taka da bedanya dengan “Permatamu yang hilang”dan dengan gadis Batipuh yang engkau cintai dua dan tiga tahun yang lalu, yang gambarnya tergantung di kamar tulismu.

Tetapi sungguhpun demikian pembalasan dendam yang engkau timpakan kepadaku, telah kuampuni, telah kumaaafkan. Sebabnya ialah lantaran saya cinta akan engkau. Dan karena saya tahu bahwasanya yang demikian engkau lakukan itu lantaran cinta jua. Cuma satu pengharapan dan penghabisan, heningkan hatimu kembali, sama-sama kita habisi kekecewaan yang sudah-sudah, ampuni saya, maafkan saya.

Saya akan pulang, hanya dua yang kunantikan: pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku, yaitu akan menunggumu. Dan yang kedua ialah menunggu maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya bergantung di awang-awang.  Cintai saya semula.

Selamat tinggal Zainuddin! Selamat tinggal wahai orang yang kucintai di dunia ini! Zainuddin, kaulah nama yang selalu terpatri dalam do’aku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat. Kalau aku mati dahulu dari  padamu, janganlah berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan doa-do’aku dan membawakan Bungan pancawarna dari bekas tanganmu sendiri jika kau masih sempat menziarahi tempat pusaraku.

Selamat tinggal Zainuddin, aku cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku dalam mengenang engkau.

Hayati

 Setelah selesai surat itu dibacanya, segera ia memintanya kepada Bang Muluk untuk segera pergi ke stasiun Kereta api nanti malam, akan di bawanya kembali Hayati dari Pelabuhan Tanjung Priok.

Tetapi cita-cita tak dapat melawan takdir! Nanti malam dia akan berangkat, padahal pukul 3 sorenya, telah tersiar di surat kabar bahwa dengan huruf besar-besar “KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM”, baru sekian berita yang ia baca ia berkata,

“Hayati beroleh celaka, Bang Muluk! Kita mesti pergi sekarang ke Tuban!”

“Baiklah!”

Sesampainya mereka dirumah sakit, setelah mereka memberi keterangan bahwasanyamerka hendak mencari keluarganya. Mereka teruskan ke kamar perempuan. Hayati telah dapat ditolong oleh beberapa penangkap ikan.

Dilihatnya wajah Zainuddin, maka timbullah dari matanya, sekejap saja, “Kau.. Zain …”

“Ya, Hayati! Allah rupanya tak mengijinkan kita tu berpisah lagi, bila telah beroleh keijinan dari dokter, kita segera balik ke Surabaya

Dilihatnya pula Muluk tenang-tenang “Bang! … su…rat..ku !”

“Sudah Hayati, sudah kuberikan”. Hayati pingsan kembali.

Hari telah malam, si sakit masih tidur dengan tenangnya. Kira-kira pukul 10 malam tersadarlah ia. Segeralah Zainudin mendekatinya. Setelah dekat, dikatakannya “Zainuddin. Saya dengar perkataan doter, saya tahu bahwa… saya..telah dekat.”

“Tidak Hayati, kau akan sembuh!”

“Sabar! Cahaya kematian telah terbayang di mukaku, jika kumati hatiku telah senang, sebab telah ku ketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku”

Beberapa menit kemudian di isyaratkanya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah dekat, dibisikannya : “Bacakanlah .  dua kalimat suci .. ditelingaku.”

Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat Syahadat itu, yang ketiga itulah dia sudah taka da lagi. Setelah itu … dia  terjatuh pingsan, tidak sadarkan dirinya.

***

Setelah mayat terkubur, setelah 3 hari jenazah Hayati di kebumikan diajaklah Muluk pergi ke pusara itu. Nisannya diperbuat dari batu marmer yang bertuliskan

HAYATI

Meninggal lantaran kecelakaan

Kapal Van Der Wijck

Pada 20 Oktober 1936

Setahun kemudian.

Kabar berita tentang dirinya, tidaklah diketahui oranglagi semenjak kematian Hayati. Tiba-tiba pada suatu hari di dalam surat kabar yang terbit bertemu perkabaran:

“ZAINUDDIN PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT”

Pesan dan Moral

Dalam buku ini, kita akan memperoleh pembelajaran akan hidup. Janganlah kita berputus asa, selalu merenung akan kesedihan. Lihatlah masa depan. Kemudian, kita akan memperoleh cinta yang suci dari sepasang remaja yang dilandasi keikhlasan dan kesucian jiwa, berpegang teguh akan agama. Kesabaran dan kehalusan dalam bertutur kata.
Powered By Blogger