Pagi temen-temen! aku mau nyeritain kembali novel karangan Hamka, yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Selamat baca......^_^
Di tepi pantai, seorang anak muda yang berusia
kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang diri menghadapkan mukanya ke laut di
rumah berbentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Ia
teringat pesan ayahnya tatkala beliau akan menutup mata. Ayahnya berpesan bahwa
negerinya yang asli bukanlah Mengkasar, tetapi jauh di seberang lautan, yang
lebih indah lagi dari negerinya sekarang.
Dia dinamai ayahnya, Zainuddin. Sejak kecilnya
telah dirundung kemalangan.
Ayahnya Pendekar Sutan dari Batipuh Sapuluh
Koto (Padang Panjang). Atas kesalahannya, beliau dibuang 15 tahun. Ketika itu
pembuangan Cilacap paling mahsyu bagi orang hukuman Sumatra, laksana pembuangan
SAwah Lunto bagi orang hukuman Tanah Jawa dan Bugis. Sebab beliau bergelar
“jago” seorang kejam dan gagah berani yang tiada mengenal kasihan. Itulah
sebabnya dia menginjak Mengkasar. Di sanalah beliau menikah dengan ibunya
Zainuddin, Daeng Habibah.
“Terangkanlah, Mak, terangkanlah kembali
riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya” ujar Zainuddin kepada Mak
Base, ibu angkatnya. “ketika itu engkau masih amat kecil, saya berurai air
mata, memikirkan bahwa engkau masih kecil, umurmu baru Sembilan bulan. Lalu
dengan suara yang hampir hilang ia berkata ‘Mana Udin, Mak Base?’ ‘ini dia’
jawabku. Tak engkau ketahui bahwa ibumu akan berangkat meninggalkan engkau buat
selamanya. Lalu engkau dipeluknya, digamit pula ayahmu. Dia berbisik ke telinga
ayahmu:’Jaga Zainuddin’. Tak lama kemudian, ibumu hilanglah.
Beberapa bulan sepeninggal ibumu, rupanya
kodrat ilahi tidak mengizinkan ayahmu menunggumu sampai besar. Pada suatu
malam, petang Kamis malam Jumat, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya,
meminta tobat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu engkau menangis dan
bersedih, engkau menatap memanggil-manggil dia. Tapi aku telah diwasiatkan
sebelum ayahmu pergi, beliau memintaku menjaga kunci sampai ia mati. Setelah
dia wafat barulah peti itu mamak buka, disana ada sehelai surat yang berisi
dengan tulisan Arab : ‘Pengasuh Zainuddin sampai dia besar’ dan segulung uang
kertas Rp 1.000,00” Jawab Mak Base.
“Lepaslah saya berangkat ke Padang Mak Base.
Saya hendak melihat tanah asalku, tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Banyak
orang berkata bahwa banyak sekolah-sekolah agama di sana. Lepaslah saya mak
Base”
Mak Base termenung sejenak, namun akhirnya ia
diizinkannya pula. “Terimalah uang ini semuanya, inilah hakmu, usaha dari
ayahmu” “Ai, yang akan saya hanyalah sekedar ongkos kapal ke Padang.
Perniagakanlah seperti biasa, kirimi saya Rp 20,00 setiap bulannya, sisanya
untuk mamak.
Berangkatlah Zainuddin ke Padang. Negeri Padang
Panjang dusun Batipuh tujuannya. Bertinggal di rumah mande jamilah.
***
Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun
Batipuh di rumah Mande Jamilah, ia teringat perkataan Mak Base bahwa adat
Minangkabau itu lain, berbeda. Bangsa diambil dari ibu. Meskipun Zainuddin
berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah.
Sedangkan di sini lain, malang nasib Zainuddin, sebab dalam negeri ibunya
dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing juga.
Tak dapat Zainuddin berkata bahwa ia orang Padang, orang Minangkabau, sebab dia
tak bersuku.
Tak berapa jauh dari rumah bakonya itu, ada
sebuah rumah adat yang indah dan kokoh.
Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan
alam, lambaian Gunung Merapi,yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat
yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu.
Mula-mula Hayati berkenalan dengan Zainuddin,
adalah ketika hari sedang hujan lebat, sepulang dari sekolah agama. Zainuddin
membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya kebetulan tidak membawa
payung. Sehingga dari pukul 2 sudah hampir pukul 4 mereka berdiri.
Hari mulai sore, timbullah keberanian Zainuddin
berbicara kepada Hayati : “Encik…! Sukakah Encik saya tolong?” “Apakah gerangan
pertolongan Tuan itu?” “Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah
mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung
ini, berangkatlah sekarang juga.”
“Terimakasih!” jawab Hayati. “Janganlah ditolak
pertolongan itu” kata orang lepau tiba-tiba.
“Ke mana payung ini kelak kami antarkan?”
“Besok saja antarkan pun taka pa, ke rumah
Mande Jamilah!”
Kedua gadis itu pun berangkatlah dalam hujan.
Hujan pun teduh, dia pun pulang ke Batipuh dengan langkah yang cepat.
Pagi-pagi, sebelum anak-anak sekolah berangkat
ke sekolahnya ada anak kecil menghampirinya ke muka surau tempat Zainuddin
tidur, anak kecil laki-laki itu membawa payung dan anak itu pun berkata: “Kak Ati berkirim
salam dan menyuruh mengembalikan payung ini, surat ini pula..” dibukanya surat
itu….
Tuan
Zainuddin!
Bersamaan
dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kemarin.
Alangkah besar terima kasih saya atas pertolongan itu, tak dapat di sini saya
nyatakan. Pertama, waktu hari hujan saya tak bersedia payung, Tuan telah sudi
berbasah-basah untuk memeliharakan seorang anak perempuan yang belum Tuan
kenal. Kedua, kesyukuran saya lebih lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut
dengan Tuan, yang selama ini terkenal baik budi. Sehingga bukan saja rupanya
hujan mendatangkan basah, tapi mendatangkan rahmat. Moga-moga pada suatu waktu
kelak, dapatlah saya membalas budi Tuan.
Hayati
Sejak Zainuddin
berkenalan dengan Hayati, dia tidak merasa sunyi lagi di Tanah Minangkabau yang
memandangnya orang asing itu. Hayati sendiri pun semenjak waktu itu kerap kali
bagai orang yang keraguan. Ada seorang sahabat Hayati, bernama Khadijah,
tinggal di Padang Panjang. Pada suatu hari dikirimnya sepucuk surat tentang
bagaimana perasaan hatinya. Dalam surat itu Nampak isi perasaan Hayati,
perasaan yang belum pernah diterangkannya kepada orang lain.
***
Pada suatu
hari, di waktu matahari hendak terbenam, Hayati bertemu dengan Zainuddin di
liku jalan.
“Ai .. Zainuddin
di sini.” “Ya, disini, menunggumu!” “Menunggu saya?” “Apakah maksudnya,
lekaslah, supaya saya segera pulang.”
“Engkau saya
tunggu hanya sekedar hendak memberikan surat ini.”
Zainuddin
berangkat dari tempat itu secepat-cepatnya. Hayati pula segera pulang,segera di
malam hari ia membaca surat dari Zainuddin di dekat sebuah lampu dinding.
Sahabatku
Hayati
Gemetar
tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksa untuk menulis,
banyak yang terasa, hilang akalku, tak tentu dari mana harus ku mulai.
Sudah hampir
satu tahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. Oh Hayati,
di Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang. Disini pula saya dianggap
orang Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam kesepian. Mereka
bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa,
tetapi oleh uang. Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula. Bakoku tak
mengakui bahwa saya anak pisangnya. Mengapa hal ini saya adukan kepadamu,
Hayati?
Itu pun saya
tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu. Maafkan
saya karena meluahkan kepedihan hati saya, Hayati. Saya tahu juga
sedikit-sedikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini
dalam pandangan umum. Saya tahu dan insaf siapa saya. Saya kirimkan surat ini
tidaklah minta dibalas, hanyalah semata-mata mengadukan hal. Saya juga yakin,
tangan yang amat halus, mata yang penuh dengan kejujuran itu tidak akan
mengecewakan hati.
Sudikah engkau
jadi sahabatku, Hayati? Saya sadar, saya melarat, anak orang terbuang yang datang
dari negeri jauh, yatim dan piatu. Percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau
temui hati yang insya-Allah sebersih hati saya, lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya.
Zainuddin
Gemetar tangan
Hayati, bercucur pula air matanya. Terbayanglah di hadapannya wajah Zainuddin
yang muram, keluh senantiasa mengandung rahasia dalam.
Adapun yang
berkirim surat, Zainuddin. Besok paginya, dia merasa takut dan malu akan
bertemu Hayati pada suatu jalan, seakan-akan menyesal dia rasanya mengirim
surat itu. Apalagi setelah sehari, dua hari suratnya telah dikirimkan, tidak
mendapat balasan apa-apa. Empat hari di belakang itu, seketika Zainuddin datang
dari sebuah lepau di tepi jalan, tiba-tiba ia tertegun, sebab ia bertemu dengan
Hayati.
“Hayati?”
“Mengapa sudah
empat hari Tuan tak kelihatan?”
“Saya malu
Hayati, saya takut.”
“Jangan Tuan
takut lantaran surat itu, surat yang indah dan menarik, yang membuka pintu hati
orang. Tapi sayang, saya tak berbakat seperti Tuan untuk membalas surat yang
indah-indah itu.”
“Bukankah sudah
saya terangkan bahwa saya tak meminta balasan? Yang saya minta hanya satu,
jangan kecewakan hati orang yang berlindung kepadamu!”
Demikianlah,
mata bertemu dengan mata, hati berkata dengan hati.
Sejak dapat
diketahui Zainuddin bahwa suratnya diterima baik oleh Hayati, sampai di surau
tempat dia tidur, ditulisnyalah sepucuk surat kepada Hayati. Bilamana
ditulisnya :
Hayati!
Pada
perkataan-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku,
cintaku telah kau terima. Bahwa pengharapanku yang telah putus, kau hubungkan
kembali. Aku sendiri, sebagai yang kau lihat, begitulah keadaanku, rupaku yang
jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin. Bagiku, Hayati, engkau
sangant cantik. Kecantikanmu itu kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa,
mengingat buruk diriku dan buruk untungku.
Tetapi pula,
kalau kau hendak mendasarkan cinta itu pada dasar keikhlasan, pada keteguhan
memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan bukan kebaikan rupa.
Kalau semuanya
itu telah kau ingat benar, dan engkau sudi berenang ka dalam lautan cinta,
ketahuilah bahwa saya beruntung berkenalan dengan engkau, moga-moga begitu pula
engkau terhadapku.
Zainuddin
Surat yang
ketiga :
Sahabatku
Hayati!
Sebagai
kukatakan dahulu, lebih bebas saya menulis surat daripada berkata-kata dengan
engkau. Saya lebih pandai meratap, menyesal, dan mengupat dalam surat. Karena
bilamana saya bertemu denganmu maka senantiasa matamu menghilangkan susun kataku.
Inilah suratku
yang ketiga. Dan alangkah beruntungnya perasaan hatiku jika beroleh balasan,
padahal sepucuk pum belum pernah engkau balas. Bacalah, dan bacalah suratku
ketiga-tiganya. Kirimlah surat kepadaku tanda jujurmu.
Suratmu,
Hayati; sekali lagi suratmu.
Zainuddin
Tiba-tiba
datang adik Hayati, Ahmad yang masih kecil membawa surat, berdebar sangat
jantung Zainuddin demi membuka surat itu:
Tuan Zainuddin!
Ketiga surat
tuan telah say abaca dengan mafhum,keterangan yang lebih panjang tak dapat saya
berikan dengan surat. Sebab itu, kalau tuan tak keberatan, saya hendak bertemu
sendiri dengan Tuan, nanti sore di dangau di sawah tempat kita bertemu
mula-mula rempo hari. Saya akan datang dengan adikku.
Hayati
Ditunggunya
hari sampai sore, sampailah ia dapat bertemu dengan Hayati. Zainuddinlah yang
telah sampai dahulu daripadanya. Tak lama hayati datang pula diiringi oleh
adiknya, kemudian entah mengapa Hayati menangis.
“Lebih baik
kita tinggal bersahabat saja. Habisi sajalah hingga ini.”
“oh, jadi, kau telah
menagmbil keputusan yang tetap?”
“ya”
“Baiklah,
Hayati! Besar salahku memaksa hati yang tak mau. Saya takkan mengganggumu lagi”
Maka turunlah
Zainuddin dari tempat duduknya, lalu pergi. Setelah agak jauh Zainuddin
berjalan, dipanggilnya Ahmad oleh Hayati bermaksud menyuruhnya untuk
memanggilkan Zainuddin kembali.
Berlari-larilah
Ahmad mengejar Zainuddin. Dibimbingnya kembali ke dangau itu.
“Apa Hayati?”
“Saya cinta
akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan saya bersedia
menempuh segala bahaya yang akan menimpa dan sengsara yang mengancam.”
“Hayati… kau
telah kembalikan jiwaku!”
***
Persahabatan
yang rapat dan jujur di antara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah.
Orang belum kenal percintaan suci. Yang terdengar sekarang, ialah bahwa Hayati,
kemenakan Datuk telah ber-intaian, bermain mata, berkirim-kirim surat dengan
anak orang Mengkasar itu. Telinga Datuk tak sanggup lagi mendengarkan. Sehingga
pada suatu mala dicarinya Zainuddin, dibawanya bercakap bermuka-muka.
“Zainuddin!
Telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu
dan diri kemenakanku. Diri saya percaya bahwa engkau tiada melakukan perbuatan
yang tak senonoh terhadap kemenakanku. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk
memberi engkau nasehat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum
merusakkab nama kami dalam negeri, yang belum lekang di panas dan beklum lapuk
di hujan, supaya engkau surut.”
“Mengapa Engku
berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?”
“Untuk
kemaslahatan Hayati yang engkau cintai” perkataan ini terhujam ke dalam jantung
Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam.
“berilah saya
keputusan, berangkatlah!” ujarnya kembali
“ba…iklah
Engku”
***
Hayati duduk di
ruang tengah, tiba-tiba Datuk .. masuk dan berdiri di dekat Hayati sambil
berkata : “Sudahkah engkau tahu Hayati?”
“Apa Engku?”
“Zainuddin
telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu, lebih baik
ia pergi ke padang panjang.“
“Apa sebab Engku
suruh dia pergi?”
“Banyak
fitnah-fitnah orang terhadap dirinya dan dirimu sendiri”
“Tapi hubungan
kami suci, tak melanggar sopan santun. Dia hendakmenuruti jalan yang lurus,
mengambil saya jadi istrinya”
“Tak boleh Ati!
Di zaman sekarang, haruslah suami yang tentu mata pencaharian, tentu asal-usul.
Jika dengannya, dan engkau beroleh anak, kamanakah anak itu akan berbako?”
“Sekarang kau
boleh menangis, dan nanti kau akan insaf sendiri”
***
Sesampainya
Zainuddin pulang ke rumah bakonya. Mande
Jamilah telah menyambutnya, lalu berkata “Lebik baik engkau tinggalkan Batipuh
ini, tinggallah di Padang Panjang. Namamu menjadi sebutan banya orang. Tadi
sore Mande bertemu beberapa anak muda yang hendak bermaksud jahat padamu!”
Ia diusir,
perbuatannya dicela, namanya di busukkan. Seorang anak muda yang berkenalan
dengan nak perempuan, dengan maksud baik dan hendak kawin, dipandang hina.
Tiba-tiba,
setelah setengah jam dia meninggalkan kampung tanah nenek moyangnya, di tepi
jalan menuju Padang Panjang, kelihatan olehnya seorang permpuan dengan seorang
anak laki-laki. Orang itu ialah Hayati dengan adiknya yang berdiri menunggunya.
“Rupanya kau
menungguku disini Hayati”
“Memang
Zainuddin, saya kemari melepasmu pergi.berangkatlah, cinta bukan melemahkan
hati, bukan membawa putus asa. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan.
Berangkatlah! Biarlah Tuhan memberi perlindungan bagi kita berdua.”
“Hayati, saya
putus asa, atau timbul pengharapan dalam hidupku yang belum tentu tujuannya,
semua benrgantung bukan pada diriku, bukan pada orang lain, melainkan dirimu.
Engkaulah yang sanggup menjadikanku seorang yang gagah berani, tetapi engkau
pula yang menjadikan saya seorang sengsara selamanya.”
“Zainuddin,
hati saya dipenuhi cinta pada kau. Biarkan Tuhan mendengarkan, bahwa kau yang
akan menjadi suamiku kelak, bila tiidak didunia ini, biarlah menjadi suamiku di
akhirat kelak. Saya takkan menghianati janji, tidakkan berdusta dihadapan
Tuhan, dan dihadapan roh nenek moyangku.”
“Berat sekali
sumpahmu Hayati!”
“Tidak berat,
itulah kenyataannya. Dan jika kau berjalan jauh atau dekat sekalipun, entah
tidak kembali dalam masa setahun, dua tahun, masa sepuluh tahun,namun saya akan
tetap menunggu. Carilah keberuntungan dan kebahagiaan kita. Jika kita bertemu
pula, saya akan tetap bersih dan suci untukmu, kekasihku, untukmu…”
“Baiklah
Hayati, saya akan pergi dengan harapan yang penuh, harapan yang tadinya hampir
hilang. Cuma ada permintaanku padamu, kirimilah saya surat, dan kalau tak
berhalangan, surat-surat itu akan saya balasi pula”
“Akan saya
kirimi sedapat mungkin, akan saya terangkan segala perasaan hatiku, sebagaimana
pepatahmu selama ini, dengan surat kita lebih bebas menerangkan perasaan”
“Mana tahu,
entah lama pula kita kan bertemu. Berilah saya satu tanda mata, azimatku, dalam
hidupku, dan akan kuwasiatkan meletakkan dalam kafanku jika ku mati.”
Termenung
Hayati, lalu memberikannya selendang yang melilit kepalanya. “Ini, terimalah
selamat jalan!”
***
Dipilihnya tempat
tinggal, di rumah En.Labay. beberapa hari kemudian, hari jumat, datanglah
sepucuk surat buat Zainuddin. Yang berisikan bahwa ia akan segera bersua, ia
telah diberi izin untuk pergi ke Padang Panjang, 10 hari untuk datang
menyaksikan berpacuan kuda. Ia tinggal di rumah sahabatnya, Khadijah.
Kedua sahabat
ini Hayati dan Khadijah, berbeda sekali pergaulannya. Besoknya pagi-pagi,
mereka di rumah Khadijah telah bangun. Khadijah asyik berhias diri, dan
menyarankan pakaian nona-nona kepada Hayati. Awalnya mereka sempat bertengkar-tengkar,
akhirnya Hayati bersedia memakai pakaian itu. Lalu mereka pergilah.
Dari jauh,
kelihatanlah olehnya seorang anak muda, bersarung, ya, Zainuddin. Di muka pintu
itu benar bertemulah kedua orang muda itu. “Kau Hayati?” “Zai .. nuddin ..!”
“Mengapa
terhenti Hayati?” Tanya Khadijah sambil melihat Zainuddin dengan penglihatan
yang menghina.
“Inilah
sahabatku, Zainuddin!”
“Ooooo, ini
orang yang kerap kali kau sebut-sebut itu rupanya.” Ditariknya tangan Hayati ke
dalam, masuk ke tribune.
Selepas itu
pulanglah Hayati, sebab ia sedikit pusing. Lalu esoknya ia menerima surat dari
Zainuddin yang lebih dan kurangnya berisi:
Adikku Hayati!
Hayati! …. Apa
yang saya lihat kemarin? Mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu?
Mana baju kurungmu Bukankah Adinda orang dusun! Kakanda percaya, bahwa yang
demikian itu bukan kehendak Hayati yang sejati.
Jangan marah
Hayati. Kau hanya buat saya seorang. Biarlah orang lain mengatakan kau orang
dusun, tak kenal kemajuan zaman kini.
Zainuddin
***
Aziz bekerja di
Padang, bergaul dengan teman sejawat yang tidak berketentuan perangai. Bagi
Aziz, hidup adalah komidi belaka. Adiknya Khadijah telah bertunangan dengan
seorang muda yang kaya.
Dalam pergaulan
beberapa hari di Padang Panjang, dalam melihat pacu kuda, pasar keramaian dan
pergaulan di atas rumah yang bebas, tentu saja Aziz amat tertarik melihat
kecantikan Hayati. Aziz amat pandai berpura-pura. Menurutnya segala perempuan
itu sama saja, permainan laki-laki.
Khadijah terus
menerus menjelek-jelekkan Zainuddin kepada Khadijah. Alangkah baiknya ---Kata
Khadijah --- kalau hari perkawinan mereka dapat disamakan!.
“Alangkah
baiknya jika kita berkarib dengan dia” ujar Khadijah kepada Ibu dan Udanya.
“Bukan main
megahnya itu” ujar ibunya
“Bagaimana Uda?”
Kata Khadijah pula.
***
Hayati telah
berpulang, tak lama dari kepulangannya, datanglah surat dari sahabatnya itu,
Khadijah yang menerangkan bahwa hidup di zaman sekarang berkehendang uang,
Zainuddin tiadakan sanggup menyelenggarakan hidupnya. “Ya Rabbi, berilah
petunjuk bagi hamba-Mu ini” kata hayati selepas membaca surat itu.
Pada waktu yang
telah ditentukan, setelah segenap mufakat Aziz dengan keluarganya, disuruhlah
orang suruhan untuk menyampaikan permintaan kepada kaun kerabat Hayati.
Sedang Zainuddin
mendapat kabar tak baik, diterimanya pos surat menjelang magrib yang isinya
menerangkan bahwa Mak Base, ibu angkatnya telah berpulang ke rahmatullah dan
menerima uang sebesar 3200 rupiah dari peninggalan beliau. Sebatang kara lah ia
di dunia.
Dengan tiga
ribu rupiah dia hendak hidup, dalam angan-angan dia hendak mencoba meminta Hayati
kepada keluarganya dengan memintanya melalui surat. Surat diterima orang
Batipuh, adalah dua hari setelah utusan Aziz kembali ke Padang Panjang.
Sementara para
tetua adat sedang berkumpul akan peminangan terhadap kemenakannya Hayati.
Pemufakatan putus. Tinggal lagi memanggil Hayati, menerangkan kebulatannya
mufakat kepadanya.
“Lekaslah jawab
Hayati!” ujar Datuk
“Jawablah
Hayati!” sekali lagi
“Bagaimana ..
yang akan baik kata ninik mamak saja .. saya menurut”
“Alhamdulillah,”
ujar yang hadir.
***
Berdebar-debar
jantung Zainuddin seketika menerima surat balasan dari orang Batipuh. Setelah
dibukanya,
Kepada orang
muda Zainuddin, di Padang Panjang
Surat orang
muda telah kami terima dan mafhum isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau
beradat, bulat kata mufakat, artinya kami belum sepakat, maka kami tolaklah
permintaan orang muda, dengan mengatakan dengan terus terang bahwa permintaan
ini tiada dapat kami kabulkan.
Datuk Garang dll.
Selepasnya ia
baca, demikianlah hati telah remuk redam. Kemudian ditinggalkannyalah Padang
Panjang hendak mengobati hati tetapi percuma.
“Sudah kembali
Zainuddin? Mengapa mukamu lebih lesu?” kata perempuan tua tempat ia menumpang
itu,
“Demam saya
dalam perjalanan, Mak!”
“Mengapa engkau
termenung saja anakku, kurang sihatkah?”
“Tidak Mak”
“Terangkanlah,
apa sebab surat itu Zainuddin? Agaknya si Muluk anak mamak dapat membantu. Akan
ku upanggilkan ia. Aa, itu si muluk! Kau tolonglah orang muda ini”
“Mana yang
dapat saya tolong Guru?” kata Muluk.
Setelah semua
diceritakannya, lalu dia berkata hendak meminta carikan selidiki Aziz yang
menjadi pinangan Hayati, rupanya Muluk tahu tentang ia, Aziz adalah orang yang
perangainya tak baik. Setelah Zainuddin tahu akan perangainya Aziz, menulislah
ia sepucuk surat kepada Hayati, hendak memberi tahu bahwa Aziz buruklah
perangainya, Aziz memperdaya Hayati dan kerabatnya dengan uang dan kecantikan.
Sangat payah pula sakit Zainuddin, malang sekali nasibnya dan meminta belas
kasihan dari padanya.
Balasan Hayati
justru menerangkan bahwa kedua orang muda ini hanya akan menangis buat
sementara waktu, mereka akan insaf bahwa dia pindah dari alam yang sempit ke alam
yang lebih lebar. Dan menerangkan pula bahwa bila menikah dengannya akan hidup
melarat pula, dan perkawinannya dengan Aziz bukanlah suatu paksaan, maka lebih
baik berpisah dan melupakan kesalahan yang lalu.
Demi setelah
surat itu diterima kepada Zainuddin, mengerti benarlah ia sekarang. Dan
menerangkan kepada Hayati bahwa ia akan melupakan pula yang telah lalu dan
mengirimkannya surat-surat yang dikirim Hayati kembali padanya.
Hari perkawinan
telah ditentukan, petang Kamis malam Jumat. Lain dengan Zainuddin yang masih
tertidur sampai pagi hari semenjak merenung akan nasibnya. Ia sakit 2 bulan
lamanya, segala dukun telah Muluk dan mamaknya panggil, namun tak jua sembuh,
ini penyakit batin. Saran dokter yang terakhir itulah menyarankan bahwa orang
yang menjadi penyebab si sakit supaya datang menjenguknya.
Pagi-pagi pukul
9 datanglah Hayati, dengan penuh keberatan ia duduk di samping tempat tidur
Zainuddin seraya memanggil-manggil namanya. “Zainuddin, ini saya datang!.”
“Hayatikah itu?
Saya kenal benar suaranya,”
Dicarinya asal
suara itu dengan menggunakan tangannya.
“Oh, ya Hayati!
Kau datang tepat pada waktunya, kita akan melaksanakan perkawinan kita, sudah
lama aku menunggu kedatanganmu, begitu cantik kau hari ini memakai baju kurung
itu, sangat saya setujui. Kemarikanlah tangan kau Hayati!”
Diulurkanlah
tangan Hayati, tiba-tiba badannya bergetar sambil berkata “O.. kau berinai
jari, ya, ya, saya lupa, kau sudah kawin, kau sudah kepunyaan orang lain,
haramlah saya menyentuh tanganmu!. Keluarlah semua, pergilah semuanya, mereka
telah putus pula dengan saya, perglah segera!” Kemudian ditariknya tangan
Hayati oleh suaminya, dan dibimbingnya ke luar.
***
Tak lama,
sembuhlah Zainuddin dari sakitnya, bercengkramalah ia dengan Muluk, maksud
meminta nasihat.
“Sudah saya
pikirkan, saya terpaksa pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak pergi ke
Tanah Jawa”
“Sudah tetapkah
keputusan demikian?”
“Tetap!”
“Saya mesti
ikut, bawalah saya meski menjadi jonggos, menjadi orang suruhan dalam pergaulan
hidup, menjadi sahabat setia yang akan mempertahankan jika Guru ditimpa susah.
Sebab saya tertarik akan Guru.”
“Saya pun perlu
berdampingan dengan Abang, banyak kebaikan pula dari Abang yang perlu saya
ambil.”
“Sampai mati
jadi sahabat” kata Muluk
“Sampai mati
jadi sahabat” kata Zainuddin pula,
Ditinggalkannya
Pulau Sumatra, masuk ke tanah Jawa. Sesampainya ia di Batavia, disewanya rumah
kecil bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah dicobanya menyudahkan karangan-karangannya yang
terbengkalai, terutama di bagian hikayat. Dikirimnya kepada surat-surat kabar.
Rupanya karangan itu mendapat tempat yang baik. Hingga dalam masa yang belum
setahun, karangannya telah banyak tersiar. Yang dikarangkan oleh leter “Z” yang
amat menarik hati itu.
Jika dahulu ia
sendiri mendatangi kantor surat kabar, sekarang redaksi surat kabar itulah yang
datang meminta karangan kepadanya. Bahkan salah satu direktur dari satu surat
kabar datang ke rumahnya menawarkan pekerjaan menjadi redaksi di surat kabar
itu, tapi di Surabaya.
Dengan kemauan
yang tetap, pergilah ia bersama Muluk ke Surabaya dan mendapat rumah pula
disana. Tidak heran kalau sekiranya mendapat penerimaan yang baik dari pembacanya,
sebab ceritanya amat menarik hati orang.
Karena kemulian
budi dan kebaikannya, namanya telah harum dalam perkumpulan Anak Sumatra.
Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Maka adalah cinta kepada
Hayati dan pengharapan yang terputus yang menyebabkan jiwa dan semangat baru
dalam perjuangan hidup anak muda itu.
***
Sore, sedang
Hayati duduk bersama suaminya, datanglah seorang loper mengantarkan surat
undangan suatu pertunjukan cerita tonil karangan Tuan Shabir (nama samara
penulis “Z”) dengan judul “TEROESIR” yang beratas namakan klub Anak Sumatra.
Hayati
membujuk-bujuk suaminya itu supaya dapat datang ke gedung pertunjukan rumah
Tuan Shabir itu. Sehingga setelah pukul setengah 7 berangkatlah mereka.
Selama
permainan berjalan, tak kurang-kurang pujian orang kepada pengarangnya. Sehabis
pertunjukan selesai, meriahlah semua tamu yang menyaksikan. Lalu, bertemulah
Aziz dan istrinya dengan pengarang Tuan Shabir itu, dan terkejut mereka bahwa
orang itu adalah Zainuddin.
Nama Zainuddin
telah mahsyur, dia telah ternama. Namun ia adalah orang yang malang. Diakuinya
sekarang telah menjadi kaya, sudah ada padanya sumber mas. Salah orang yang
menyangka bahwa Hayati telah ia lupakan.
Dengan
sebaik-baiknya persahabatan, Aziz yang pandai sekali mengambil muka telah
meminta maaf kepadanya karena kejadian-kejadian yang sudah-sudah itu.
Persahabatan itu sudah karib. Namun Aziz masih saja berjudi, hingga hutangnya
pun bertumpuk banyak. Sampai-sampai ia meminta pertolongan dengan meminjam uang
kepada Zainuddin, tapi ia tetaplah berjudi sampai suatu ketika rumahnya disita
oleh seorang sep kantornya dan seorang penagih hutang.
Dengan langkah
tetap, penuh pengharapan, dia bersama istrinya pergi ke rumah Zainuddin.
Kedatangan mereka diterima baik oleh sang pemilik rumah.
Sudah lewat
sebulan…
Aziz hendak
meminta izin kepada istri dan pemilik rumah untuk pergi mencari pekerjaan,
dengan keadaan yang kurang sehat. Besok paginya pergilah ia.
***
Sekembali dari
stasium mengantar Aziz, disuruhnya Muluk mencari seorang babu tua untuk teman
Hayati. Hayati sendiri gelisah pula dalam rumah itu.
Pada malam di
ruang makan, Hayati telah menunggunya, tapi tak kunjung ia datang. Bertanyalah
ia kepada Muluk. Dan berbincanglah mereka tentang apa yang di alami Zainuddin
selama ini, dan diterangkannya pula bahwa di kamar tulisnya itu ada suatu yang
tak boleh Hayati tahu, itulah lukisan besar bertutupkan kain sutra hijau.
Itulah gambar lukisan dirinya yang bertuliskan “Permataku yang hilang” yang
sebetulnya Zainuddin masih tetap cinta akan dirinya. Debar jantung Hayati
mendengarkan ucapan Muluk. Pada saat itu tahulah dia sudah bahwa Zainuddin
masih cinta akan dia.
Paginya setelah
beberapa hari kepergian Aziz…
Saudaraku
Zainuddin
Dengan perasaan
duka, Surabaya saya tinggalkan. Tetapi pekerjaan belum juga dapat. Saya tahu
sudah, mungkin ini balasan Tuhan akan daku. Sekarang saya sudah menetapkan
hukuman atas diri orang yang bersalah sekian besar. Maka, dengan surat ini saya
berterus terang, bahwa Hayati saya kembalikan ke tangan Saudara, dia saya
lepaskan, tidak dalam ikatan saya lagi.
Tak perlu
saudara hiraukan bagaimana kesusahan dari hidup saya. Maafkan dosaku lahir
batin.
Aziz
Adinda Hayati
Hampir dua
tahuin kita bergaul.yang penuh dengan dosa dan tangan kotor. Saya kecewakan
hatimu. Maka sebelum masanya lepas dan penyesalan timbul, saya menyingkir
pergi.
Maka sesampai surat
ini, lantaran kau kuambil dahulunya dengan nikah secara sah, sekarang kau
kulepaskan pula sah menurut agama. Janganlah kau kembali ke Padang, tinggallah
bersama Zainuddin, kalau dia masih suka menerima kau jadi istrinya.
Bekas suamimu:
Aziz
Di lembar yang
kedua dari salah satu surat kabar harian terbaca suatu perkabaran demikian
judulnya “Membunuh diri di hotel”
***
Zainuddin
sedang termenung di dalam kamar tulisnya, kemudian masuklah Hayati ke dalam
memberanikan dirinya.
“Duduklah!”
kata Zainuddin
“Apa akal saya
lagi, Engku Zainudiin?”
“Ya, apalah lagi
kita”
“Saya akan
berterus terang padamu, saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpadiriku,
asal kau sudi memaafkan kesalahanku.”
“Maaf?, Setelah
segenap daun kehidupanku kau regas, segenap pucuk pengharanku kau patahkan, kau
minta maaf?”
Terkejut Hayati
mendapat jawaban Zainuddin
“Mengapa kau
telah menjawab dengan perkataan yang maha kejam?”
“Lupakah kau,
siapa diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji seketika saya
diusir oleh ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, kau akan menungguku?
Tetapi kemudian kauberoleh ganti yang lebih gagah, kaya, berbangsa beradat? Kau
kawin dengan dia kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan
paksaan orang lain. Hampir saya mati lantaran menanggung cinta, dua bulan
lamanya aku terbaring. Kau jenguk saya dan memperlihatkan jarimu telah berinai
kepemilikan orang lain, siapakah di antara kita yang jahat Hayati?
Tidak Hayati,
saya tidak kejam, saya hanya menuruti perkataanmu, bukankah kau memintaku tuk
menghilangkan rasa cinta kita dan melupakannya, dan menggantinya dengan
persahabatan? Permintaan itulah saya pegang teguh sekarang. Engkau bukan
percintaanku, bukan istriku, melainkan janda dari sahabatku.
Itulah sebab
dengan rida hati kau ijinkan tinggal dirumahku untuk menunggu kedatangan suamimu,
tapi yang datang adalah surat perceraian yang sangat menyakitkan hati. Maka,
sebagai seorang sahabat pula kau ku lepas pulang ke kampungmu. Ongkos pulangmu
biar saya yang tanggung, dan Insya-Allah kehidupanmu selama di kampung akan
saya bantu, sampai kau beroleh suami”
“Itukah
keputusanmu? Tidak! Saya tidak akan pulang, saya akan tinggal bersama engkau
disini, biar saya kau hinakan, biar kau pandang babu, saya hanya perlu dekat
dengan kau.”
“Tidak! Pantang
pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!
Besok hari
Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priok, akan terus ke
Padang. Ini Rp 100 untuk bekal belanja”
Dia pun keluar
dari kamar itu, meninggalkan Hayati duduk seorang diri.
Pagi-pagi hari
Senin, 19 Oktober 1936, Kapal Van der Wijck telah berlabuh di pelabuhan Tanjung
Perak. Dan saat itu juga detemuinya Hayati dan berkata “Selamat pulang Hayati,
maaf saya tak dapat mengantarmu ke Tanjung Perak, sebab ada pekerjaan yang
belum terselesaikan di Malang. Bolehlah nanti pukul 3 sore kau diantarkan oleh
Bang Muluk. Jangan lupa salamku untuk Datuk dan kepada keluarga di sana semua”
Setelah
kira-kira pukul setengah tiga, bersiaplah mereka hendak berangkat. Dan sebelum
ia pergi, dibawanya gambar Zainuddin dari kamar tulisnya sebagai tanda mata,
untuk dibawanya pulang. Dengan menumpang taksi, mereka berangkatlah.
Sesampai di
kapal, sebelum Muluk meninggalkan seorang perempuan muda tinggal seorang diri,
ia meminta Bang Muluk untuk memberikan surat kepada Zainuddin. Pada pukul 9
malamkapal itu berlayarlah menuju Semarang.
***
Besoknya , 20
oktober, barulah Zainuddin kembali dari Malang. Dia masuk ke kamar tulisnya dan
didapatinya Muluk.
“Bang! Terus
terang bahwa saya menyesal melepas Hayati pergi. Bang Muluk!...cinta saya
kepada Hayati belum usak, walau sebesar rambut sekalipun!”
“Saya tak
mengerti akan Guru! Kadang peranggaimu macam anak-anak”
“Saya hilaf
Bang, saya dahulukan dendam saya disbanding ketentraman cinta”
“Inilah surat
yang disuruhnya berikan”
Dibacanya :
Pergantungan jiwaku,Zainuddin!
Sungguh besar
harapanku hendak hidup di dekatmu, supaya mimpi yang telah engkau rekatkan
sekian lamanya bias terlaksana. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar
yang telah ku perbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi, cita-citaku itu
tinggal selamanya dalam mimpi, sebab engkau sendiri yang menutupkan pintu
dihadapanku, saya kau larang masuk, sebab engkau hendak meluahkan segala dendam
kekecewaan yang sekian lama bersarang dalam hatimu. Lantaran membalas dendam
itu, engkau mengambil keputusan yang mahakejam, engkau renggutkan tali
pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung.
Sebab itu, percayalah Zainuddin, bahwa hukuman ini bukan hanya mengenai diriku
seorang, tetapi kepada kita berdua. Karena saya percaya, bahwa engkau masih
tetap cinta kepadaku.
Zainuddin,
kalau saya taka da, hidupmu juga tak akan juga beruntung, percayalah dalam
jiwaku ada suatu kekayaan besar yang sangat engkau perlu kepadanya, dan
kekayaan itu belum pernah kuberikan kepada orang lain, walaupun kepada Aziz,
ialah kekayaan cinta. Seandainya kau terima kembali kedatanganku saya tidak
akan pernah meminta balasanmu. Balasan dari pengharapan cinta suciku hanyalah
dari Allah, supaya engkau diberiNya bahagia. Balasan keduaku hanyalah supaya
saya dapat hidup didekatmu selamanya.
Zainuddin,
engkau akan beroleh seorang perempuan yang masih suci batinnya, suci jiwanya,
belum pernah disentuh orang lain, hatinya belum pernah dirampas orang, yang
taka da bedanya dengan “Permatamu yang hilang”dan dengan gadis Batipuh yang
engkau cintai dua dan tiga tahun yang lalu, yang gambarnya tergantung di kamar
tulismu.
Tetapi
sungguhpun demikian pembalasan dendam yang engkau timpakan kepadaku, telah
kuampuni, telah kumaaafkan. Sebabnya ialah lantaran saya cinta akan engkau. Dan
karena saya tahu bahwasanya yang demikian engkau lakukan itu lantaran cinta
jua. Cuma satu pengharapan dan penghabisan, heningkan hatimu kembali, sama-sama
kita habisi kekecewaan yang sudah-sudah, ampuni saya, maafkan saya.
Saya akan pulang,
hanya dua yang kunantikan: pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku, yaitu
akan menunggumu. Dan yang kedua ialah menunggu maut, biar saya mati dengan
meratapi keberuntungan yang hanya bergantung di awang-awang. Cintai saya semula.
Selamat tinggal
Zainuddin! Selamat tinggal wahai orang yang kucintai di dunia ini! Zainuddin,
kaulah nama yang selalu terpatri dalam do’aku, bila saya menghadap Tuhan di
akhirat. Kalau aku mati dahulu dari
padamu, janganlah berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan
doa-do’aku dan membawakan Bungan pancawarna dari bekas tanganmu sendiri jika
kau masih sempat menziarahi tempat pusaraku.
Selamat tinggal
Zainuddin, aku cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku dalam
mengenang engkau.
Hayati
Setelah selesai surat itu dibacanya, segera ia memintanya kepada
Bang Muluk untuk segera pergi ke stasiun Kereta api nanti malam, akan di
bawanya kembali Hayati dari Pelabuhan Tanjung Priok.
Tetapi
cita-cita tak dapat melawan takdir! Nanti malam dia akan berangkat, padahal
pukul 3 sorenya, telah tersiar di surat kabar bahwa dengan huruf besar-besar
“KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM”, baru sekian berita yang ia baca ia berkata,
“Hayati beroleh
celaka, Bang Muluk! Kita mesti pergi sekarang ke Tuban!”
“Baiklah!”
Sesampainya
mereka dirumah sakit, setelah mereka memberi keterangan bahwasanyamerka hendak
mencari keluarganya. Mereka teruskan ke kamar perempuan. Hayati telah dapat
ditolong oleh beberapa penangkap ikan.
Dilihatnya
wajah Zainuddin, maka timbullah dari matanya, sekejap saja, “Kau.. Zain …”
“Ya, Hayati!
Allah rupanya tak mengijinkan kita tu berpisah lagi, bila telah beroleh
keijinan dari dokter, kita segera balik ke Surabaya
Dilihatnya pula
Muluk tenang-tenang “Bang! … su…rat..ku !”
“Sudah Hayati,
sudah kuberikan”. Hayati pingsan kembali.
Hari telah
malam, si sakit masih tidur dengan tenangnya. Kira-kira pukul 10 malam
tersadarlah ia. Segeralah Zainudin mendekatinya. Setelah dekat, dikatakannya
“Zainuddin. Saya dengar perkataan doter, saya tahu bahwa… saya..telah dekat.”
“Tidak Hayati,
kau akan sembuh!”
“Sabar! Cahaya
kematian telah terbayang di mukaku, jika kumati hatiku telah senang, sebab
telah ku ketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku”
Beberapa menit
kemudian di isyaratkanya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah dekat,
dibisikannya : “Bacakanlah . dua kalimat
suci .. ditelingaku.”
Tiga kali
Zainuddin membacakan kalimat Syahadat itu, yang ketiga itulah dia sudah taka da
lagi. Setelah itu … dia terjatuh
pingsan, tidak sadarkan dirinya.
***
Setelah mayat
terkubur, setelah 3 hari jenazah Hayati di kebumikan diajaklah Muluk pergi ke
pusara itu. Nisannya diperbuat dari batu marmer yang bertuliskan
HAYATI
Meninggal lantaran kecelakaan
Kapal Van Der Wijck
Pada 20 Oktober 1936
Setahun
kemudian.
Kabar berita
tentang dirinya, tidaklah diketahui oranglagi semenjak kematian Hayati.
Tiba-tiba pada suatu hari di dalam surat kabar yang terbit bertemu perkabaran:
“ZAINUDDIN
PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT”
Pesan
dan Moral
Dalam buku ini,
kita akan memperoleh pembelajaran akan hidup. Janganlah kita berputus asa,
selalu merenung akan kesedihan. Lihatlah masa depan. Kemudian, kita akan
memperoleh cinta yang suci dari sepasang remaja yang dilandasi keikhlasan dan
kesucian jiwa, berpegang teguh akan agama. Kesabaran dan kehalusan dalam
bertutur kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar