Senin, 31 Desember 2018

Bagaimana Cara Jepang Mitigasi Gempa dan Tsunami

Rawan Bencana, Ini 8 Cara Jepang Mitigasi Gempa dan Tsunami  


TOKYO, KOMPAS.com — Jepang menjadi salah satu tujuan wisata favorit bagi sejumlah turis asing. Namun, "Negeri Sakura" itu merupakan negara rawan bencana alam. 

Terakhir kali Jepang dilanda gempa dan tsunami pada 2011 silam. Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo itu menimbulkan tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir timur laut negara itu. 

Sekitar 19.000 orang tewas atau hilang akibat peristiwa tersebut, serta menyebabkan kebocoran pembangkit tenaga nuklir Fukushima Daiichi. 

Britannica mencatat, Perdana Menteri Jepang kala itu, Kan Naoto, langsung mengumumkan keadaan darurat dan mengerahkan 100.000 pasukan untuk menangani wilayah terdampak. 

Kemudian, gempa berkekuatan 6,6 magnitudo juga mengguncang pulau utara Jepang, Hokkaido, pada 6 September 2018 hingga merenggut sedikitnya 18 korban jiwa. Sudah sejak lama berjibaku dengan bencana alam, penduduk Jepang dilatih untuk sigap menghadapi agar meminimalkan jumlah korban dan kerusakan.

Lalu bagaimana Jepang berupaya memitigasi bencana? 

Rumah tahan gempa 


Desain rumah beratap runcing dan tahan gempa.

Desain rumah beratap runcing dan tahan gempa.(Dezeen.com) Untuk memastikan keselamatan penduduk, rumah-rumah penduduk yang baru dibangun harus dirancang agar tahan gempa. Dengan begitu, gempa bumi yang kuat tidak mudah menyebabkan rumah roboh. 

Bangunan yang runtuh merupakan salah satu penyebab cedera dan kematian akibat gempa. Di Jepang, semua bangunan harus mengikuti dua persyaratan ketat dari pemerintah, yaitu bangunan dijamin tidak akan runtuh karena gempa dalam 100 tahun ke depan. Syarat lain adalah bangunan dipastikan tidak akan rusak dalam 10 tahun pembangunan. 

Melansir Culture Trip, sekitar 87 persen bangunan di Tokyo mampu bertahan terhadap guncangan gempa. 

Peringatan gempa di ponsel 

Setiap ponsel pintar di Jepang dipasang dengan sistem peringatan gempa dan tsunami. 

Peringatan akan sampai ke pemilik ponsel pintar sekitar 5-10 detik sebelum bencana terjadi. 

Dengan demikian, penduduk masih memiliki waktu untuk segera mencari perlindungan, seperti misalnya, dengan berlindung di bawah meja. 

Sistem ini mengeluarkan suara otomatis "Jinshin desu! Jihshin desu!" yang berarti ada gempa bumi. 


Kereta peluru 


Kereta cepat Jepang, Shinkansen melintas di atas kota Tokyo. Moda transportasi tersebut terkenal di Jepang karena kecepatan dan ketepatan waktunya.


Kereta cepat Jepang, Shinkansen melintas di atas kota Tokyo. Moda transportasi tersebut terkenal di Jepang karena kecepatan dan ketepatan waktunya.(Kazuhiro Nogi / AFP) 


Jepang memiliki jaringan kereta peluru atau shinkansen. Untuk memastikan keselamatan penumpang, kereta dilengkapi dengan sensor gempa yang akan menghentikan laju kereta yang bergerak. 

Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo pada 2011, ada 27 kereta peluru yang beroperasi. Setiap kereta itu berhenti saat gempa-gempa kecil mulai mengguncang. Pada saat gempa besar menghantam, kereta peluru benar-benar berhenti sehingga tidak ada korban tewas atau bahkan terluka. 

Siaran TV 

Ketika gempa muncul, seluruh stasiun televisi Jepang langsung beralih pada siaran gempa. Penduduk dipastikan mendapat informasi cukup untuk tetap aman. 

Cakupan informasi itu seperti bagaimana mencari perlindungan, apakah ada tsunami, dan masyarakat masih punya waktu untuk pindah ke lokasi yang lebih tinggi. 

Ransel darurat 
Hasil gambar untuk ransel darurat tsunami

Untuk meminimalkan korban, Pemerintah Jepang memberikan panduan tentang cara bertahan terhadap bencana alam. 

Ransel darurat yang berisi senter, obat-obatan, selimut, masker, tali, radio, toilet portabel, dan sejumlah makanan disediakan di setiap rumah tangga. 

Peralatan darurat itu cukup untuk bertahan hidup selama tiga hingga tujuh hari. 

Setiap pusat evakuasi seperti ruang olahraga di sekolah dilengkapi dengan helm, selimut, senter, makanan, dan sebagainya untuk melayani kebutuhan masyarakat yang mengungsi. 

Peran ibu rumah tangga 

Ibu rumah tangga di Jepang memainkan peran penting terhadap penanganan bencana. Gempa biasanya berdampak pada pipa gas yang bisa menyebabkan ledakan dan kebakaran. 

Mereka dilatih untuk mematikan gas dan listrik, serta cara membuka pintu yang sulit dibuka akibat gempa.  

Para ibu juga memiliki tugas penting lainnya, yaitu memeriksa ransel darurat secara reguler dan mengganti barang-barang yang sudah kedaluwarsa dan rusak. 

Pelatihan di sekolah 

Dan yang tak kalah penting adalah mengajarkan murid-murid di sekolah untuk tanggap ketika menghadapi gempa. 

Sejak dari usia dini, anak-anak dilatih mencari tempat perlindungan dan bagaimana bisa aman jika gempa melanda wilayah mereka. 

Metode yang paling umum diajarkan yaitu berlindung di bawah meja dan menahannya dengan kaki sampai gempa berhenti. Jika sedang bermain di luar, anak-anak diminta untuk berlari ke ruangan terbuka untuk menghindari bangunan yang roboh. 

Personel pemadam kebakaran juga melatih anak-anak untuk mengidentifikasi getaran gempa dengan alat simulator. 


Terowongan penguras air 

Jepang memiliki saluran penguras air di pinggiran kota Tokyo, di bawah lapangan sepak bola atau skate park. 

Saluran ini mengumpulkan air banjir yang disebabkan oleh siklon dan tsunami, kemudian mengalirkannya ke Sungai Edo. 

Jika wilayah terkena gempa bumi dan memicu tsunami, kota akan terhindar dari banjir besar. Namun, butuh waktu 13 tahun untuk membangun proyek senilai 3 miliar dollar AS itu.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rawan Bencana, Ini 8 Cara Jepang Mitigasi Gempa dan Tsunami", https://internasional.kompas.com/read/2018/10/02/14212651/rawan-bencana-ini-8-cara-jepang-mitigasi-gempa-dan-tsunami
Penulis : Veronika Yasinta
Editor : Veronika Yasinta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger